Senin, 15 April 2013

INTEGRASI ILMU AGAMA (ISLAM) DAN ILMU SAINS OLEH: KELOMPOK 4 SAMSUL REZKY AMALIA TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN QAIMUDDIN KENDARI 2013 A.PENDAHULUAN Dewasa ini kita sering mendengar istilah ilmu agama dan ilmu sains, ilmu agama islam adalah ilmu yang berbasiskan dengan wahyu, hadits Nabi, Penalaran para Ulama (ijma). Misalnya Fiqh, Tasawuf, Ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah Peradaban islam dan pendidikan agama islam. Selanjutnya ilmu sains adalah ilmu yang berbasikan dengan penalaran manusia berdasarkan penalaran akal dan data yang empiris. Seperti matematika, Astronomi, Astropologi dan lain sebagainya. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama-pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan oleh anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu-terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama bersifat preskriptif. Ada juga yang memandang bahwa sains dan agama berdiri pada posisinya masing-masing, karena bidang ilmu mengandalkan data yang didukung secara empiris untuk memastikan apa yang "nyata" dan apa yang tidak, agama sebaliknya siap menerima yang gaib dan tidak pasti hanya didasarkan pada variabel berwujud dari "iman" dan kepercayaan. Bahwa agama dan sains harus hidup berdampingan independen satu sama lain, sebab meskipun ada kesamaan dalam misi mereka, perbedaan mendasar antara keduanya menyajikan sebuah konflik yang akan beresonansi pada inti masing-masing. Sehingga integrasi antara sains dan agama hampir tidak layak, sebagai kriteria ilmiah untuk mengidentifikasi asumsi tersebut menjadi nyata, karena dipastikan ada proses kanibalisasi antara keduanya, sementara agama sangat penting bagi kesejahteraan individu dan bertujuan menciptakan harmoni bagi kehidupan. Persoalan yang muncul sekarang adalah bagaimana melakukan integrasi antara sains dan agama, dan integrasi seperti apa yang dapat dilakukan?. Dalam wacana sains dan agama, integrasi dalam pengertian generiknya adalah usaha untuk memadukan sains dan agama. J. Sudarminta, SJ, misalnya, pernah mengajukan apa yang disebutnya ”integrasi yang valid”, tetapi pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif” (istilah yang digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara dangkal ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah). B.PEMBAHASAN Tinjauan tentang Integrasi Ilmu Agama Islam dengan Ilmu-ilmu Umum, menurut: 1.TEOLOGI Secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara untuk memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari tuhan sebagai mana wahyu yang diturunkan-Nya. Melalui tinjauan normatif teologis ini, seseorang akan dibawa pada suatu keadaan melihat masalah berdasarkan perspektif tuhan dalam batas-batas yang dapat dipahami manusia. Demikian pentingnya tinjauan normatif teologis ini, maka ia telah digunakan sebagai salah satu cara untuk melihat masalah. Tinjauan suatu masalah berdasarkan normatif teologis termasuk tinjaun yang paling mendominasi pemikiran umat islam. Hal ini terjadi akibat pengaruh paham teologi asy’ari yang menempatkan Tuhan amat dominan dalam menentukan perjalanan manusia. Ada juga anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama-pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan oleh anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama bersifat preskriptif. Tinjauan normatif teologis ini perlu dilakukan untuk membangun komitmen dan melihat sesuatu dalam perspektif yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan dan firman-firman-Nya. Tinjauan normatif teologis ini Pada tahap selanjutnya terlihat kurang berpengaruh dalam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Karena dengan tinjauan tersebut manusia sebagaimana dalam pandanga teologi asy’syariah banyak mengandalkan tuhan akibatnya manusia menjadi kurang kreatif dan inivatif. Akibatnya keadaan duni islam mengalami kemunduran sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap penggunaan penalaran. Tinjauan normatif teologis selanjutnya mengharuskan kita untuk melihat secara seksama bagaiman pandanga tuhan terhadap integrasi ilmu agama islam dan ilmu umum, sebagai mana terdaat dalam firman-Nya di dalam Al’quran dan dan dijabarkan oleh nabi muhammad saw dalam haditsnya. Al-quran dan As-sunnah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum. Yang dalam ada dalam alqur’an adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama islam dan ilmu umum adalah merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengindetifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya. 2. HISTORIS a. Sejarah Pertumbuhan ilmu agama islam dan ilmu sains di dunia islam Ada dua Faktor yang sangat berperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan saat itu: a. Terjadinya asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Bangsa persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh india terlihat dalam bidang kedokteran, matematika dan astronomi. Sedangkan yunani masuk melalui terjemahan-terjamahan dalam banyak bidang ilmu terutama filsafat. b. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase, pertama, pada masa khalifah Al-mansur hinggs Harun al-rasyid, terutama dalam bidang astronomi dan mantiq. Kedua, berlangsung pada masa al-ma’mun hingga tahun 300 H. Terutama dalam bidang filsafat dan kedokteran. Ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Matematika Matematika dan sains masuk ke dunia islam lewat cara yang sama dengan pemikiran filsafat yaitu melalui, terutama lewat beberapa karya ringkasan yang menjadi buku pegangan dikedua daerah tersebut sepanjang masa domoinasi aleksandria sebagai pusat dunia intelektual hellenisme. Proses transmisi ilmu pengetahuan yunani kedalam bahasa arab telah berpengaruh juga pada proses perkembangan ilmu matematika. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh yang berhasil menguasai ilmu tersebut, bahkan keberadaannya telah menjadi rujukan para ilmuwan barat pada saat itu. Sejarah matematika telah kita ketahui dimulai sejak sebelum masa pra-islam, maka tokoh-tokoh matematikawan di dunia arab tersebar mulai dari masa itu, melewati masa-masa puncak renaisans islam di abad ke 8-11 masehi, dan mulai memudar sekitar abad ke-s13. Bahkan menurut catatan Nasr, sampai abad ke 19, tradisi keilmuan matematika ini masih terus hidup dan melahirkan tokoh-tokoh dan karya yang mumpuni. Para tokoh matematika muslim ini aktif berperan dalam berbagai kegiatan keilmuan, mulai dari penerjemahan, pengembangan teori (baik matematika itu sendiri, maupun ilmu-ilmu yang menyatu dengan matematika , seperti astronomi atau musik), maupun aktivitas lain, seperti perencannan tata kota maupun kontruksinya. Dan kalau disebut sebagi tokoh matematika , kabanyakan dari mereka juga berkarya di bidang astronomi, astrologi dan musik. Dapat disebutkan di sini sederet nama-nama terkenal misalnya Naubakht (ahli astronomi), Al-Farukhan ( penerjemah dan pemberi anotasi Quardipartium karya ptolomeus (815), Ibn Al Haytam (965-1039), Umar Khayyam ( 1048-1132), Nasir al-Dn Al-Thusi (w.1247), Banu Musa (tiga putra dari syakir ibn Musa , yakni Muhammad, Ahmad dan Hasan), Ibn Mashar, Al-Khawarizmi (839-849), Abu Al-Wafa’ (940-997), Abu Al Husain Al –Sufi/Azopsi ( 903-986), Habasyi Al-Hasib, Al-Fargani/Al-Farganus, Al-Fathl Al-Nayrizi(w.922), Al-Muzaffar Al-Tusi, Quthb Al-Din Al-Syirazi (1236-1311). Setidaknya nama-nama ini muncul dalam buku-buku teks standar yang tersebar di dunia akademik sejarah matematika. Di luar nama-nama diatas, diperkirakan masih banyak matematikawan yang tercatat dalam tinta emas peradaban islam. b.Sejarah Ilmu Dari dunia Islam ke Eropa dan Barat Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Islam telah Menguasai Afrika Utara, Benua Eropa (711 M), Maroko dan Al-Jazair, Spanyol, kordova, Seville, Elvire, dan Toledo. Bahkan pada masa Khalifah umar bin Abd. Aziz, serangan dilakukan ke prancis melalui pegunungan Pirancee. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah spanyol dan jatuhnya kerajaan islam terakhir di sana, islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad, dari tahun 711 M hingga 1492 M. Rentang waktu yang panjang tersebut telah berpengaruh pada proses kemajuan ilmu pengetahuan di dunia barat. Jarak antara spanyol dan negara-negara barat yang relatif dekat paling tidak telah banyak membantu para ilmuwan barat untuk melakukan adopsi kebudayaan dan penerjemahan karya-karya gemilang intelektual muslim yang telah ada. Analisis lain yang bisa dikedenpankan tentang masuknya ilmu agama islam ke negara barat juga didukung oleh lahirnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi pada abad ke-12, yang secara otomatis akan memainkan peran dalam melakukan proses penelitian dan penerjemahan karya intelektual dan keilmuan islam ke dalam bahasa latin. Disamping beberapa faktor di atas, perkembangan ilmu pengetahuan di eropa pun sesungguhya lebih dilatar belakangi sebuah keinginan besar dari para pemuda kristen yang belajar di Universitas-universitas islam di spanyol, seperti Univertas Cordova, Sevile, Malaga, dan Salamanca dalam menerjemahkan karya-karya intelektual muslim yang tersebar di seluruh dunia. Keaktifan mereka selama masa kuliah, telah membuktikan kepada mereka bahwa ilmu-ilmu yang yang diperoleh dari intelektual Muslim membawa manfaat besar khususnya bagi pribadi mereka dalam pengembangan wacana keilmuwan juga dalam proses pendidikan (universitas) yang mereka dirikan di eropa. Pada abad pertengahan tepatnya abad ke-12 kondisi inipun ternyata berbalik arah. Eropa yang dulu belajar terhadap kaum muslimin harus belajar kembali kepada eropa yang saat ini hampir menguasai seluruh bidang ilmu pengetahuan. C. Sejarah pertumbuhan ilmu umum di dunia islam pada zaman modern (proses masuknya ilmu umum dari barat ke dunia islam) Saat ini masyarakat-masayarakat non-barat memerlukan bantuan barat dalam upaya untuk mencapai tujuan-tujuan serta melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Barat, sebagaiman disimpulkn oleh seorang penulis, adalah bangsa yang: 1. Memiliki sistem perbankan internasional dan mampu mengoperasikannya sendiri. 2. Mengendalikan peredaran mata uang. 3. Costumer utama dunia. 4. Menguasai pasar modal internasional. 5. Mampu menerapakan moral leadership dalam berbagai negara. 6. Memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi militer secara massif. 7. Mengendalikan jalur lalu lintas laut. 8. Menjadi pelopor berbagi penelitian dan perkembangan teknologi maju. 9. Memiliki peran penting dalam bidang pendidikan. 10. Menguasai akses keseluruh dunia. 11. Menguasai industri pesawat terbang. 12. Menguasai komunikasi nasional. 13. Menguasai industri-industri senjata canggih. Batasan tersebut mengindikasikan bahwa barat telah menguasai hampir diseluruh kehiduan dunia, mulai dari pendidikan, lalulintas, teknologi, informasi, dan lain sebagainya. Adanya kemajuan tersebut tentu tidak bisa lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dikuasai mereka. Kebangkitan intelektual di eropa telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan eropa. Pada saat yang bersamaan kondisi umat islam telah banyak mengalami kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan. Kecanggihannya dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan telah membuktikan barat telah beberapa kali memenangkan perang melawan umat islam. Bahkan beberapa wilayah telah dikuasai barat. Kejayaan ini berlangsung cukup lama, sampai diangkatnya penguasa baru Abbasiyah. Al-Mutawakkil yang bermazhab sunni melakukan pencabutan izin resmi Mu’tazilah sabagai satu aliran resmi kenegaraan yang pernah terjadi pada masa Al-makmun, kondisi terus berlanjut hingga islam merasa Antipati terhadap golongan Mu’tazilah, golongan yang gencar menyebarkan ajaran rasionalis. Sejak itu masyarakat tidak lagi mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filsafat. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berpikir masyarakat muslim sampai akhirnya pola berikir rasional berubah menjadi pola pikir tradisonal yang banyak dipengaruhi oleh ajaran spiritualitas, tahayul, dan kemujadahan. Antipati terhadap Mu’tazilah juga telah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap penerapan kurikulum di madrasah. Jatuhnya paham Mu’tazilah telah mengangkat kaum konservatif menjadi kuat. Dalam rangka mengembalikan paham ahlusunnah sekaligus memperkokoh basis, para ulama sering melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa ini, materi pelajaran sangat minim, hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama, bahkan pendidikan islam lebih identik dengan pelajaran fiqh dan tasawuf. Kondisi demikian terus diperburuk seiring dengan runtuhnya kota bagdad, akibat serangan tentara mongol pada tahun 1258 M, yang kemudian berakibat pada kehancuran kebudayaan dan pusat pendidikan islam. Artinya, kemunduran umat islam sesungguhnya telah diawali sejak runtuhnya aliran Mu’tazilah, yang kemudian berakibat pada cara berfikir umat islam yang tidak lagi rasional, tidak lagi mau menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang punya nilai guna. Hal ini terus diperburuk oleh situasi politik negeri islam yang tidak menetu, yang berakibat pada rapuhnya sistem pemerintahan saat itu, yang kemudian juga berakibat pada lemahnya sektor pendidikan, baik industri, metodologi, bahkan tujuan pendidikan islam semakin kehilangan visi, misi, dan tujuan sebagaimana yang pernah diterapkan di masa-masa kejayaan islam. Inilah awal mula terjadinya kesadaran umat islam akan ketertinggalannya yang begitu jauh. Introspeksi terus dilakukan oleh beberapa pembaru islam, untuk kemudian dicarikan apa yang harus kita perbuat dalam mengembalikan kejayaan islam di masa lalu. Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menghruskan terjadinya proses pembaruan dalam islam, yaitu: 1. Faktor kebutuhan Fragmatis umat islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan islam yang betul-betul bisa diajdikan rujukan dalam mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa dan beriman kepada Allah. 2. Agama islam sendiri melalui ayat suci alqur’an banyak menyuruh atau menganjurkan umat islam untuk selalu berfikir dan bermetafora, membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat. 3. Adanya kontak islam dengan barat, juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lhat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan pragmatik umat islam untuk belajar secara terus-menerus keada barat, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisasi. Terjadinya kontak hubungan antara islam dan barat merupakan faktor eksternal pembaruan pendidikan islam karena umat islam dapat melihat kemajuan barat pada peralatan militer, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendudukan atas meir oleh napoleon Bonaparte pada tahun 1798 merupakan tonggak sejarah bagi umat islam untuk mendapatkan kembali kesadaran akan kelemahan dan kemunduran mereka khusunya dalam bidang teknologi. Ekspedisi napoleon di mesir bukan hanya menunjukkan sepasukan tentara yang kuat dengan peralatan militernya, bahkan njuga memebawa sepasukan ilmuwan dengan seperangkat ilmiah dua set peralatan. Kondidi inilah yang melatar belakangi para tokoh pembaruan islam akan kemunduran dan keterbelakangan yang selama ini dirasakan. D. pola pembaruan dalam Islam. Ada dua faktor yang menjadi sebab lahirnya pembaruan pendidikan islam a. Pola pembaruan pendidikan islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yang kemudian kita kenal dengan gerakan modernis. Golongan yang berorientasi pada pola ini berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang diakui oleh barat adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah ala barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Kelompok ini memahami bahwa kalau kondisi pendidikan islam telah mengalami kemunduran yang sangat luar biasa, pendidikan islam, institusi madrasah tidak lagi bisa dipandang sebagai institusi yang bisa mencetak lulusan yang handal. Oleh karenanya adanya usaha perbaikan sistem, tujuan, metodologi, sarana dan prasarana, kearah pendidikan yang lebih baik sudah menjadi satu kebutuhan bagi para pembaru islam. b.Pembaruan pendidikan islam yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran islam. Golongan yang berorientasi pada pola ini, bagi mereka terjadinya kemunduran islam lebih disebabakan oleh ketidak taatan kaum muslimin dalam menjalankan ajaran islam menurut semestinya. Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan modern, dalam hal ini islam telah membuktikannya pada masa kejayaannya dimasa silam. Bagi kelompok ini, adanya kemajuan peradaban islam seharusnya menjadi referensi atau bahkan sandaran kalau sesungguhnya islam sendiri, melalui ajarannya yakni Al-qur’an dan hadits bisa memajukan umatnya tanpa harus berkiblat pada barat. Justru kita harus kembali menengok masa-masa kejayaan umat islam, bukannya malah berbalik memalingkan atau tidak mau menengok sama sekali kebelakang. 3. FILOSOFIS Dalam pandangan islam posisi ilmu menempati tingkat yang sangat tinggi, karena itu tidaklah heran jika banajyak nash baik dari la-qur’an dan assunnah yang menganjurkan kepada manusia untuk menuntut ilmu, diantaranya, firman allah dalam surat Al-alaq, yaitu;                          1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-Mu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhan-Mu lah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. 4. REINTERGRASI ILMU AGAMA (ISLAM) DAN ILMU SAINS Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks intergrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “islamisasi”. Dalam kamus Webster, islamisasi bermakna to bring within islam. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu penngetahuan maupun objek lainnya. Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam konteks ini, untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, umat islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Sejak kemunduran islam (abad ke 12 M), karena para penguasa muslim kurang memberikan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan hingga akhir abad ke-16, di mana dimulai terputus hubungan antara dunia islam dengan aliran utama dalam sains dan teknologi, umat islam sangat tertinggal jauh dibanding masayarakat barat dalam ilmu pengetahuan. Disaat mengalami kemunduran, justru mulai bangkit dari kegelapan pengetahuan setelah sekian lama terbelenggu dalam indoktrinisasi teologi kristiani. Di sisi lain, para ulama, sebagaimana dikatakan aziz juga sangat inward looking dalam memahami ilmu-ilmu agama. Ketertinggalan dalam memahami wahyu ini sampai mencapai tingkat kebenaran yang memadai, diasumsikan karena tertinggal dalam penguasaannya terhadap ilmu-ilmu pengetahuan umum. Selain masalah ketertinggalan dalam penguasaan ilmu pengetahuan , hal terbesar yang dihadapi umat islam dewasa ini adalah berkaitan dengan paradigma berpikir. Umat islam masih berpikir secara absurd. Misalnya dalam memahami al-qur’an umat islam masih mencari sisi mistik dari surat-surat tertentu. Seperti al-ikhlas, an-naas, ayat kursi,yasiin dan sebagainya. bukan justru mengembangkan wacana-wacana keimanan, kemanusiaan, dan pengetahuan. Dikalangan umat islam yang demikian paling kurang timbul tiga sikap menghadapi keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut sebagai berikut; Pertama, Sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari barat sebagai ilmu pengetahuan yang sekuler. Karena itu ilmu tersebut harus ditolak. Untuk memebawa kemajuan islam adalah dengan kembali pada al-qur’an dan as-sunnah, serta warisan islam dizaman klasik. Kedua, sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari barat sebagai ilmu yang bersifat netral. Karenanya ilmu tersebut harus diterima apa adanya. Ketiga, sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari barat sebagai ilmu yang bersifat sekuler, dan materialism. Namun dapat diterima oleh umat islam dengan terlebih dahulu dilakukan proses islamisasi. Ketiga sikap tersebut satu sama lainnya memiliki pengaruh sendiri-sendiri di masyarakat dengan segala implikasi. Dari pernyataan di atas muncul pertanyaan, apakah proses islamisasi ilmu pengetahuan itu perlu dilakukan?? Di bawah ini akan di ulas pendapat beberapa ahli tentang hal ini. Dr.Mohammad Arkoun dan Usep Fathuddin. Beliau seorang guru besar Islamic Studies pada Universitas Sorbon Prancis.mengatakan bahwa keinginan para cendekiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi adalah merupakan kesalahan, sebab ini dapat menjebak kita pada pendekatan yang menganggap bahwa islam hanya semata-mata sebagai ideologi. Senada dengan itu, Usep Fathuddin di indonesia juga terdapat pendapat bahwa islamisasi ilmu pengetahuan itu tidak perlu dilakukan. Beliau berkata: hemat saya, islamisasi ilmu bukanlah kerja ilmiah, apalagi kerja kreatif. Sebab yang dibutuhkan umat islam dan lebih lagi bagi para cendekiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu. Mulyanto dan Haidar Bagir Kedua orang ini mendukung proses islamisai ilmu pengetahuan. Mulyanto mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai proses penerapan etika islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria pemilihan satu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain islam hanya berlaku sebagai kriteria etis diluar struktur ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan , tak lain dari proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kestuan ilmu pengetahuan. Haidar Bagir mengemukakan bahwa tentang perlunya dibentuk sains yang yang islami. Hal ini didukung oleh tiga argumentasi sebagai berikut:  Umat islam perlu sebuah sistem sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, material dan spritiual.  Secara sosiologis , umat islam yang tinggal di wilayah geografis dan memiliki kebudayaan yang berbeda dari barat.  Kita umat islam, pernah memiliki peradaban islamisasi di masa sains berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan umat islam . Jadi, jika ke tiga aspek ini mampu kita penuhi , kita punya alasan untuk berharap menciptakan kembali sebuah sains islam dalam peradaban yang islami pula. C. KESIMPULAN Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk mentransformasikan Nilai-nilai keislaman ke dalam berbagai bidang kehidupan manusia, Khusunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Islamisasi ilmu Pengetahuan adalah upaya untuk menghubungan dan memadukan antara sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Dengan adanya islamisasi ilmu pengetahuan dapat dilihat dan diketahui dengan secara Real bahwa islam bukan hanya mengatur dalam segi-segi ritualitas semata seperti shalat,puasa,zakat dan haji melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi duniawi , termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditengah-tengah masyarakat yang masih dilanda dengan krisis dalam berbagai bidang kehidupan seperti sekarang ini, Islamisasi ilmu pengetahuan semakin dipandang relevan daya antisipasinya. Ini juga sangat berperan penting, melihat banyaknya tumbuh industri pelayanan perbankan, yang umunya belum menerapkan syariah islam namun sudah ada beberapa industri perbankan yang menyadari bahwa pebankan berbasiskan islam itu perlu. Ini juga sangat perlu untuk dipraktekkan pada kehidupsn kenegaraan yang semakin menuntut perlunya penegakan kejujuran, demokrasi, tranparansi dan lain sebagainya. Dengan demikian, sudah saatnya kita harus menghilangkan dikotomisasi antara agama dan sains. Sudah lama, kita merindukan sebuah harmoni yang Balance antara ruh spiritualitas agama dan sains. Sudah saatnya, agama dan sains harus menghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis. Dan pendidikan merupakan salah satu medium terbaik untuk tujuan tersebut, karena kunci ke arah masa depan yang lebih baik adalah pendidikan, dimana tujuan utama pendidikan adalah untuk memampukan “budaya pengetahuan integral” berakar kuat di masyarakat Muslim kontemporer, sehingga kemajuan di bidang sains dan teknologi menjadi lebih mudah untuk dicapai. Daftar Pustaka Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakata: Rajawali Pers, 2007 Nata, Abuddin, dkk. Intergrasi Ilmu Agama Dan Ilmu Umum, Jakarta: Rajawali Pers, 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar